-Bab 2
Prinsip-Prinsip Dan Praktek Ekonomi Dalam Islam-
A.
Pengertian
Mu’āmalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya
hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
Sementara dalam fiqh Islam berarti
tukar- menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang
ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam,
urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya. Dalam melakukan transaksi
ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam,
Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut:
1. Tidak
boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak
boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak
boleh dengan cara-cara ẓālim (aniaya).
4. Tidak
boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak
boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak
boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.
B.
Macam-Macam
Mu’āmalah
1. Jual-Beli
Jual-beli
menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki
benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman
Allah Swt. Berikut ini :

Artinya:”... dan Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah/2:
275).
a. Syarat-Syarat
Jual-Beli
Syarat-syarat yang
telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut.
1) Penjual
dan pembelinya haruslah:
a) Ballig, c) Atas kehendak sendiri.
b) Berakal
sehat,
2) Uang
dan barangnya haruslah:
a) Halal
dan suci.
b) Bermanfaat.
c) Keadaan
barang dapat diserahterimakan.
d) Keadaan
barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e) Milik
sendiri.
3) Ijab
Qobul
Seperti
pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli
menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu
berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli
itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban).
b. Khiyār
1) Pengertian
Khiyār
Khiyār
adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam
memperbolehkan melakukan khiyār karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama
suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun.
2) Macam-Macam
Khiyār
a) Khiyār
Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat
berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan
atau membatalkan jual-beli.
b) Khiyār
Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual
mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga
hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan
jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan,
status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyār) tidak ada
pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi.
Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak
penjual kembali.
c) Khiyār
Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika
terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun
hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
c. Ribā
1. Pengertian
Ribā
Ribā
adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering
terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Ribā,
apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga
sangat berat. Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang
sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a. Sama
timbangan ukurannya; atau
b. Dilakukan
serah terima saat itu juga,
c. Secara
tunai.
2. Macam-Macam Ribā
a) Ribā
Faḍli,
adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin
emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11
gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b) Ribā
Qorḍi,
adalah pinjam meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat
mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00
asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah
yang disebut riba.
c) Ribā
Yādi,
adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan
pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang,
ketela yang masih di dalam tanah.
d) Ribā
Nas³’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu
kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya,
kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik.
2. Utang-piutang
a. Pengertian
Utang-piutang
Utang-piutang
adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan
dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya.
b. Rukun
Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada
tiga, yaitu:
1) Yang
berpiutang dan yang berutang
2) Ada
harta atau barang
3) Lafadz
kesepakatan.
Apabila orang membayar utangnya dengan
memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya,
kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan
bagi yang berutang. Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian
dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya,
hukumnya tidak boleh.
3. Sewa-menyewa
a. Pengertian
Sewa-menyewa
Sewa-menyewa
dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh
seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga
dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan. Dasar hukum ijārah : Q.S al-Baqarah/2:
233 dan Q.S at-Talaq/65: 6
b. Syarat
dan Rukun Sewa-menyewa
1) Yang
menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2) Sewa-menyewa
dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3) Barang
tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan
barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat
yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua
belah pihak.
6) Berapa
lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7) Harga
sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati
bersama.
Dalam
hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan
disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1) Jenis
pekerjaan dan jam kerjanya.
2) Berapa
lama masa kerja.
3) Berapa
gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah
borongan?
4) Tunjangan-tunjangan
seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.
C.
Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah
suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
1. Rukun
dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah
secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut.
1) Dua
belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah
harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf (pengelolaan harta).
2) Objek
akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun
syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan
diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3) Akad
atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad harus
berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
2. Macam-Macam
Syirkah
a. Syirkah
‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi
kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan
dalil sunah dan ijma’ sahabat.
b. Syirkah
‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal). Konstribusi
kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja
fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
c. Syirkah
wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau
keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah
antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak
ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
d. Syirkah
mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam pengertian ini boleh
dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan
menjadi satu.
e. Muḍārabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama
menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau
pengusaha (muḍarrib).
f. Musāqah,
Muzāra’ah, dan Mukhābarah
1. Musāqah
Musāqah adalah kerja
sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan
kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut
persentase yang ditentukan pada waktu akad.
2. Muzāra’ah
adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani
penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani.
3. Mukhābarah
ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani
penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.
D.
Perbankan
1. Pengertian
Perbankan
Bank
adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat
dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian,
hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik
dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga
lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna
jasa bank.
Bank dilihat dari segi
penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut.
a. Bank
Konvensional
Bank konvensional ialah
bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang
memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya
dengan menggunakan sistem bunga.
b. Bank
Islam atau Bank Syar³’ah
Bank Islam atau bank
syar³’ah ialah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah
bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah
menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut :
1) Muḍārabah,
yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi
hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian.
2) Musyārakah,
yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing
sama-sama memiliki saham.
3) Wadi’ah,
yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga.
4) Qarḍul
hasān, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam
keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada
saat jatuh tempo.
5) Murābahah,
yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan
di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan
ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi.
E.
Asuransi
Syari’ah
1. Prinsip-Prinsip
Asuransi Syari’ah
Asuransi
berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan,
keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur)
disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min. Dalam Islam,
asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi
menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi
tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama
berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi
konvensional haram hukumnya. Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu
upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid.
2. Perbedaan
Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Tentu
saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi
konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar
sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada
perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko
kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi
konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat
pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan
yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta
tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum
masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal
dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal
ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat
diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’
(sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Untuk pengaturan
asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tinggalkan Saran Dan Kritik Anda