Jumat, 22 April 2016

TUGAS AGAMA : BAB 2 EKONOMI DALAM ISLAM



-Bab 2 Prinsip-Prinsip Dan Praktek Ekonomi Dalam Islam-
A.    Pengertian Mu’āmalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam  fiqh Islam berarti tukar- menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya. Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut:
1.      Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2.      Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3.      Tidak boleh dengan cara-cara ẓālim (aniaya).
4.      Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5.      Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6.      Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.

B.     Macam-Macam Mu’āmalah
1.      Jual-Beli
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. Berikut ini :
Artinya:”... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah/2: 275).
a.       Syarat-Syarat Jual-Beli
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut.
1)      Penjual dan pembelinya haruslah:
a)      Ballig,                    c) Atas kehendak sendiri.
b)      Berakal sehat,
2)      Uang dan barangnya haruslah:
a)      Halal dan suci.
b)      Bermanfaat.
c)      Keadaan barang dapat diserahterimakan.
d)     Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e)      Milik sendiri.
3)      Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban).
b.      Khiyār
1)      Pengertian Khiyār
Khiyār adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun.
2)      Macam-Macam Khiyār
a)      Khiyār Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli.
b)      Khiyār Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali.
c)      Khiyār Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
c.       Ribā
1.      Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a.       Sama timbangan ukurannya; atau
b.      Dilakukan serah terima saat itu juga,
c.       Secara tunai.
2.      Macam-Macam Ribā
a)      Ribā Faḍli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b)      Ribā Qorḍi, adalah pinjam meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c)      Ribā Yādi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.
d)     Ribā Nas³’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik.
2.      Utang-piutang
a.       Pengertian Utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya.
b.      Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1)      Yang berpiutang dan yang berutang
2)      Ada harta atau barang
3)      Lafadz kesepakatan.
Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh.
3.      Sewa-menyewa
a.       Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan. Dasar hukum ijārah : Q.S al-Baqarah/2: 233 dan Q.S at-Talaq/65: 6
b.      Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1)      Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2)      Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3)      Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4)      Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5)      Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak.
6)      Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7)      Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1)      Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2)      Berapa lama masa kerja.
3)      Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
4)      Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.

C.    Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
1.      Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut.
1)      Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf (pengelolaan harta).
2)      Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3)      Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
2.      Macam-Macam Syirkah
a.       Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
b.      Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
c.       Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
d.      Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu.
e.       Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib).
f.       Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah
1.      Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.
2.      Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani.
3.      Mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.

D.    Perbankan
1.      Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut.
a.       Bank Konvensional
Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b.      Bank Islam atau Bank Syar³’ah
Bank Islam atau bank syar³’ah ialah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut :
1)      Muḍārabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian.
2)      Musyārakah, yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama memiliki saham.
3)      Wadi’ah, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga.
4)      Qarḍul hasān, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo.
5)      Murābahah, yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi.

E.     Asuransi Syari’ah
1.      Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min. Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya. Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid.
2.      Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tinggalkan Saran Dan Kritik Anda

RMK 3 (BANK DAN LEMBAGA LAINNYA) - Otoritas Jasa Keuangan/OJK

OTORITAS JASA KEUANGAN Artikel Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ringkasan Mata Kuliah III Dosen Pembimbing : Khresna Bayu San...